Senin, 14 Maret 2016

Monggo...

JENDELA

S
uatu malam hari yang dingin karena hujan begitu derasnya tanpa sela, saya pulang ke rumah. Ternyata, jendela kamar masih terbuka. Dengan pakean agak basah, segera saya menutup jendela, menyalakan lampu, berganti pakaian lalu memakai jaket.

Setelah beberapa saat, diselingi dengan meminum teh hangat, saya merasakan tubuh kembali merasakan kehangatan di tengah tiupan angin yang dingin dan hujan yang deras

Saya pun lalu tertidur pulas. Mengarungi mimpi hingga puas.

Kadang, di keramaian yang membuat kita terombang-ambing tidak menentu, kita merasa kesepian, bingung, dan tidak nyaman. Mencari sebuah cela, mungkin akan ada perahu yang sedang menanti di sudut sana.
***

“Kringgggg....” suara itu terdengar lagi, entah sudah yang kesekian kalinya.

          “Halo...” terdengar sapaan singkat di ujung sana.

Dia memulai ceritanya, sesekali terdiam, menahan nafas dan akhirnya tersisa isak tangis kepedihan.

          “Sabar... pada akhirnya kebenaran itu akan datang tanpa harus mengundanganya...”

          “Aku akan menerima semuanya, jika itu kebenarannya. Tapi tidak kah dia lelah terus berbohong?”

          “Bukan kebohongan atau kenyataan yang membuatmu tersakiti tetapi fakta bahwa sakit itu selalu datang dan kamu tidak berdaya mengantarnya pulang.”

          “Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Membiarkanya membodohiku? Tidak! itu sama saja mengakui kebodohanku.  Melepaskan dia begitu saja? Bukan kah itu berarti aku lemah?”

          “Tidak! kamu melepaskannya bukan karena kamu lemah atau bodoh. Melainakan karena kamu adalah perempuan kuat dan pintar...”

          “Bagaimana mungkin...”

          “Bukankah dia yang bodoh? Hidup dalam satu kebohongan yang mehirkan satu, dua bahkan tiga kebohongan lainnya. Tidak kah kebohongan itu akan terusik dan keluar kepermukaan? Bukan kah kamu adalah wanita yang pintar? Membiarkan sebuah penghianatan pergi darimu. Tidak kah penghinatan itu kelak bisa berbalik ke arah si penghianat itu sendiri?”
***

Sekali lagi air matanya jatuh. Wajahnya tertunduk, kepalanya bersandar di bahu saya. Isak tangis itu terus berlanjut untuk beberapa saat.

          “Kenapa harus berbohong? Apa salah aku sebenarnya?” suaranya terdengar sangat berat. Terpancar jelas dalam raut wajah mungil itu ada sakit yang tidak tertahankan, ada luka yang basah, ada rasa kesal yang teramat dalam.

          “Cinta bukan sebuah kejahatan” ungkapan itu yang selama ini saya percayai dan sampai detik ini tetap begitu. Namun mengapa begitu banyak problematika cinta yang datang? Bukan kah cinta bukan sebuah kejahatan, namun mengapa cinta sering kali membuat pertikaian? Mengapa cinta menggoreskan luka? Mengapa cinta mampu melahirkan kebencian? Mengapa.....

          Saya menepuk-nepuk satu sisi bahu dirinya, berharap beban yang ada di sana bisa sejenak sirna. Semua mata memanang kearahnya, namun tangisnya tak kunjung usai. Saya mendekap tubuhnya berharap dia tahu, ada tempat yang dapat dia tuju saat lelah menghapiri, kala luka tak mampu terbentung lagi.
***


-28 April-
Hari ini hujan turun lagi, mengguyur seluruh sudut kota. Dengan sebuah payung ditangan saya melangkahkan kaki menyusuri jalanan yang dipenuhi genangan air. Air hujan menyentuh tanah bergantian membuat nada-nada yang sulit tuk ditafsirkan. Membentuk bulatan-bulanan dalam genangan. Jalan raya terlihat tidak sepadat hari-hari biasanya, entah itu karena hujan yang turun hari ini atau karena hal lain.

          Hari mulai gelap, namun tidak mengurungkan niat beberapa pasang insan untuk tetap memadu kasih. Mata saya terpaku pada seorang wanita dan pria di bawah pohon itu, sang pria memberikan jaketnya untuk mereka gunakan bersama menghindari tetes demi tetes hujan. Sejenak saya terpaku,  betapa hebatnya cinta mampu membuat sepasang anak manusia rela berdiri di bawah pohon, saling memandang dengan penuh cinta, tidak menghiraukan tetes hujan yang jatuh.

Angin bertiup kencang membuat beberapa diantara mereka berteriak bersamaan. Saya hanya mampu tersenyum. Pakean yang saya kenakan mulai berubah warna menjadi lebih gelap dan terasa sedikit berat dari sebelumnya.

          “Aaaahhh... “ akhirnya saya tiba juga. Kini saya ada di rumah. Ternyata, jendela kamar masih terbuka. Dengan pakean agak basah, segera saya menutup jendela, menyalakan lampu, berganti pakaian lalu memakai jaket.

          Di luar sana terlihat beberapa anak kecil berlari kegirangan tanpa menghiraukan pakean mereka yang menjadi basah. Kaki-kaki itu melangkah di atas genangan air. Tersenyum lepas tanpa beban.

Setelah beberapa saat, diselingi dengan meminum teh hangat, saya merasakan tubuh kembali merasakan kehangatan di tengah tiupan angin yang dingin dan hujan yang deras

Saya pun lalu tertidur pulas. Mengarungi mimpi hingga puas.
Esok paginya saya terbangun oleh dering telepon. “Halo...” suara itu tidak asing. Saya mengenalnya, jelas mengenalnya.
***

          “Aku tidak berbohong Ay, Sungguh !” tapi mengapa rasanya aneh, otak ingin percaya namun hati berkata tidak.

          “Aku tidak bilang kamu berbohong, aku hanya bertanya.”

          “Tapi kamu seakan menyudutkan aku saat ini”

          Saya menarik nafas sedalam mungkin, berharap tidak terpancing untuk larut dalam emosi.

          Siang tadi saat berjalan di sebuah pusat perbelanjaan, saya melihat sesosok pria berjalan bersama seorang wanita disampingnya. Bukan pemandangan yang baru memang, tapi ketika melihat sosoknya saya hanya mampu membeku di tempat.

          Pria itu perlahan berjalan menghampiri saya, dengan senyum yang sulit di tafsirkan dia menyapa sejenak lalu melangkah pergi dengan wanita yang sejak tadi berdiri di balik punggungnya sembari merunduk dengan wajah murung.

          Dan saya masih berdiri mematung di tempat yang sama. “Dia..?? bagaimana bisa ??” pria tadi orang yang sangat saya kenal, saya yakin itu dengan seyakin yakinnya.”

          Menyaksikan “Penghianatan” tepat di depan mata saya kembali membuat saya bertanya-tanya, bukankah “Cinta bukan sebuah kejahatan?” tapi mengapa mereka yang tulus dan memberi segenap hati harus tersakiti ?
***

          Hari ini hujan turun lagi, dan saya baru saja sampai di rumah dengan pakaian yang basah kuyup. Saya pun lalu tertidur pulas. Mengarungi mimpi hingga puas.

Esok paginya saya terbangun oleh dering telepon. “Halo...” suara itu tidak asing. Saya mengenalnya, jelas mengenalnya.

          “Ay, hari ini perginya di tunda saja yah..”
          “Loh, kenapa ?”
          “Hari ini Ari tidak bisa...”
          “Bukannya hari ini tidak ada jadwal kuliah ?”
          “Iya, tapi tadi katanya dia tiba-tiba ada rusan penting”
          “Urusan ?”
          “Maaf yaa...” Telpon diakhiri.

          Apa mau dikata saat rencana hanya tinggal wacana. Rencana yang telah tersusun rapi hari ini harus terelakan karena alasan yang masih tidak di mengerti oleh otak saya.

          Mengisi kesosongan di hari libur akibat batalnya segala rencana, saya melangkahkan kaki seorang diri ke dalam sebuat pusat perbelanjaan. Mengikuti kemana arah kaki ini ingin melangkah, menikmati kesendirian di tengah keramaian.

          Sejenak keheningan menyapa, rasa dingin yang menjalar jadi ujung kaki ke seluruh tubuh membuat diri ini mematung. Sesosok pria yang sungguh tidak asing sedang berdiri beberapa meter di hadapan saya. Namun ada yang aneh, ia tidak sendirian, ada yang berdiri tepat di sampingnya. Wanita itu berbalik kearah saya dan ikut membeku.

          Pria itu berjalan ke arah saya dan di ikuti oleh wanita tadi di balik punggungnya. Sejenak menyapa lalu menghilang entah kemana. Saya masih mematung tidak mengerti apa yang harus di lakukan.

          Setelah mampu menguasai diri sendiri, saya menarik Hand phone keluar dari tas.
          “Halo ?”
          “Kamu di mana ?”
          “Di rumah. Kenapa Ay?”
          “Kalau Ari ?”
          “Tadi katanya masih di rumah temannya. Kerja tugas kuliah katanya.”
          “Yakin ?”
          “Maksudnya?”
          -Sejenak hening-
          “Ay? Ada apa? Ay??”

          Bagaimana cara untuk memulainya? Haruskah mengungkapkan kebenaran saat itu menorehkan kesedihan, atau haruskah berbohong dalam kebodohan?
***

          “Hari itu aku bertemu dengan Ari..” dengan hati-hati bibir ini berucap “Ia bersama dengan seorang wanita...” saya melanjutkan.

          Wajahnya tertunduk, murung, menahan tagis.

          “Ini yang terakhir kali, sekali lagi dia mengulanginya aku yang akan mengakhiri hubungan ini !” ucapnya kala itu.

          Hari-hari dia lewatkan dengan menahan rasa amarah, curiga sering kali menyapa, namun cinta tak mampu di pungkiri. Berulang kali Ari melakukan penghianatan dengan wanita berbeda namun dia tetap bertahan dengan rasa yang membuatnya seakan ingin lari dari kenyataan.

          Tersenyum terus ia coba lakukan, namun tangis tetap tak ingin bersembunyi. Menutup mata pada kenyataan, mencoba memahami keadaan, menerima kekurangan, melahap segala kepahitan, dan tertawa di balik tangis.

          “Apakah Cinta itu Buta?” ungkapan yang kini menjadi pertanyaan, namun sungguh ambigu. “Cinta bukanlah sebuah kejahatan” namun mengapa begitu banyak air mata yang terbuang karenanya?

Jendela memberi ruang pada udara untuk masuk ke dalam rumah, membuat penghuni di dalamnya mampu bernafas dengan nyaman.

          Jendela memberi kesempatan sinar mentari masuk ke dalam rumah memberi kehangatan di pagi hari.

          Jendela memberi kesempatan untuk menatap dunia luar, menyaksikan dan mengamati meski yang terlihat tidak selamanya benar-benar terjadi. Jendela memberi kesempatan untuk mendengar suara di luar sana, meski yang terdengar tidak selamnya sebuah kebenaran.
***


-12 Juni-
          “Semalam dia menelponku”
          “Apa katanya ?”
“Dia menyayangiku...” –sejenak hening- “Katanya aku adalah wanita yang baik, aku wanita yang mampu membuatnya tersenyum, dan dia memilihku bukan karena orang lain, tapi...”
“Tapi...?” dia mencoba menahan tangis, saya merasakannya, dia terluka
“Tapi... dia meminta maaf. Dia tidak bisa berjalan beriringan bersama denganku lagi.”
Tangisnya pecah, kepedihannya tidak terbendung lagi, usahanya sia-sia, dan kecurigaannya benar.

          Dea adalah sahabat saya, 5 bulan yang lalu dia memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan seorang pria. Dea tampak begitu bahagia, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Namun pandangan indah itu perlahan menghilang dan digantikan oleh cemas.

          “Ada yang aneh !” kalimat itu terus saja berulang dari bibir kecilnya, ia mulai menangis dan terus menangis.

Malam itu kembali lagi dengan tangis Dea menelpon saya, di ujung telpon
tangisnya tak berujung. Satu persatu kebohongan dari kekasihnya terkuak di permukaan. Dan ke-esokan harinya, Dea kembali menangis, dia menagis dalam pelukan saya semua mata memandang namun tak satu pun kami hiraukan.

Sekali lagi air matanya jatuh. Wajahnya tertunduk, kepalanya bersandar di bahu saya. Isak tangis itu terus berlanjut untuk beberapa saat.

          “Kenapa harus berbohong? Apa salah aku sebenarnya?” suaranya terdengar sangat berat. Terpancar jelas dalam raut wajah mungil itu ada sakit yang tidak tertahankan, ada luka yang basah, ada rasa kesal yang teramat dalam.

          “Cinta bukan sebuah kejahatan” ungkapan itu yang selama ini saya percayai dan sampai detik ini tetap begitu. Namun mengapa begitu banyak problematika cinta yang datang? Bukan kah cinta bukan sebuah kejahatan, namun mengapa cinta sering kali membuat pertikaian? Mengapa cinta menggoreskan luka? Mengapa cinta mampu melahirkan kebencian? Mengapa.....

          Saya menepuk-nepuk satu sisi bahu dirinya, berharap beban yang ada di sana bisa sejenak sirna. Semua mata memanang kearahnya, namun tangisnya tak kunjung usai. Saya mendekap tubuhnya berharap dia tahu, ada tempat yang dapat dia tuju saat lelah menghapiri, kala luka tak mampu terbentung lagi.
***

Tidak kah kebohongan itu membuat kamu lelah? bukankah satu kebohongan mampu melahirkan kebohongan lainnya? Lalu mengapa kamu masih bertahan dengan kebohongan itu?
          Ada sebuah jendela di sudut ruangan itu, langkahkan kaki kamu dan mendekatlah kepadanya. Pandangi ia sejenak, lalu bukalah. Lihat lah! Ada sebuah dunia diluar sana, indah bukan? Pandangi segala hal yang mampu terjangkau oleh kedua bola mata kamu. Ada beribu kehidupan, ada berjuta kisah dan akan selalu ada satu alasan untuk bahagia.

-END-

Amriani Sakra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar