Sajak sang Kawan
Hujan
turun mengguyur kota kecil itu. Suara
teriakan anak kecil yang berlarian dari arah sungai terdengar merdu bersama
suara air hujan yang terjatuh ditanah. Kaki-kaki kecil itu terus beralari dan
berlari dengan sesekali melompat sambil berteriak kegirangan. Senyum indah mengembang
di wajah mereka, sesekali tertawa, sesekali berteduh di bawah pohon, sesekali
berteriak lepas. Benar-benar
masa kanak-kanak yang akan dirindukan.
“Nina...
tutup pintunya nak, hujannya semakin deras”
“iya
bu...”
“anak-anak
itu lucu yah bu”
“lucu
kenapa ?” ibu meletakkan secangkir susu hangat di depan ayah
“mereka
semua bermain-main dibawah hujan sambil tertawa, padahal baju mereka sudah
basah dan penuh lumpur. Tapi mereka tetap terlihat senang tak punya beban
apapun.”
“anak-anak
memenag seperti itu, apapun dianggap lucu dan menyenangkan. Kalau sudah bermain
pasti lupa waktu” Ayah meneguk susu hangatnya sekali lagi.
“dulu
Nina juga seperti itu, kalau sudah main pasti lupa waktu”
“apa
semua anak kecil seperti itu bu ?”
Ibu
hanya tersenyum lalu menatap ayah yang juga tersenyum.
Hujan
semakin deras, kutarik selimut unguku dan mulai merebahkan tubuh menuju
indahnya alam mimpi yang semoga menghampiriku malam ini.
***
Pukul
05.00 subuh aku telah terbangun dan bergegas mengambil air wudu untuk menghadap pada-Nya. Bersama ayah dan ibu,
aku khusuk menjalankan tugas wajibku sebagai seorang muslim.
Pagi
menjelang, sepeda usang yang tiada letih mengantarku untuk menuntut ilmu dengan sabarnya melewati
tanjakan berbatu dan penuh lubang. Bersamanya sang sepeda usang ku lewati jalan
setapak berharap hari ini akan ku raih berjuta ilmu.
Seperti
biasanya, aku bertemu dengan Airin di persimpangan jalan. Bersama-sama kami
berangkat menuju sekolah yang kini berjarak satu kilometer. Sapaan hangat tak pernah terlewatkan. Kawan seperjuangan yang selalu menapaki langkah
demi langkah bersamaku. Namun hari ini mungkin hari yang tak cukup baik untuk
Airin. Dimulai dari ban sepeda Airin yang tertusuk
paku hingga kami terlambat datang kesekolah, bekal makan siangnya yang
tertinggal dirumah sampai mendapat omelan dari guru. Tapi bukan hanya Airin
yang mengalaminya, tapi juga aku.
Kami
berteman sejak empat tahun lalu
ketika sama-sama masuk di bangku SMP yang
sama dan juga sekelas. Awal kedekatan kami berdua tidak cukup baik. Mungkin karena sifat kami yang sama-sama
pendiam dan sulit beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Tapi, itulah
yang kemudian menumbuhkan chemistry diantara
kami berdua.
***
Senin,
12 juli 2005
Aku
mulai risih dengan tatapan gadis yang menggunakan kalung dari kertas karton dan
diberi sebuah tali untuk rantainya bertuliskan “bebek”. Sepertinya sejak tadi menatapku dengan sinis.
Ia duduk seorang diri, mungkin cukup sulit baginya mencari teman sama halnya
denganku. Kesan pertama bertemu dengannya ia SINIS, ia MENYEBALKAN dan ia sangat-sangat tidak SOPAN.
Pengumunan
penempatan kelompok guguspun dimulai, terdengar namaku disebut oleh seorang
kakak kelas dan dilanjutkan dengan nama-nama lain yang juga segugus denganku.
Tak sengaja telingaku mendengar sebuah nama disebutkan “Airin Saputri, digugus 4” seorang anak
perempuan berjalan menuju ke arah anggota gugus 4 berkumpul. “oh, jadi namanya
Airin” gumamku.
“bagaimana
hari pertamanya mosnya nak ?” ibu bertanya penasaran.
“menyenagkan
bu” balasku
“sudah
mendapatkan teman ?” ku goyangkan kepalaku kekanan dan kekiri sebagai isarat.
“nanti
juga punya, Nina harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru”
“iya
bu”
Hari
ini cukup memelahkan, setelah berganti pakaian dan makan siang aku bergegas
mengumpulakan enegiku yang telah terkuras habis hari ini. Sebelumnya aku telah
berpesan pada ibu bahwa hari ini aku tidak ingin
di ganggu dan ingin tidur. Untungnya
ibu sangat mengerti.
Setelah
puas memejamkan mata selama empat jam aku bergegas mengambil air wudu untuk
shalat azhar yang belum sempat kulakukan sepulang sekolah tadi akibat kelelahan.
Tiga
hari MOS telah terlewatkan.
Benar-benar menjadi hari yang
panjang sebelum memulai masa-masa SMPku. Suasana ruang kelas SMP benar-benar
berbeda dengan masa SD dulu, ini sangat menyenangkan. Satu persatu teman
sekelasku berdatangan dan mengambil kursi sesuai keinginan mereka semua. Aku berjalan
menuju sebuah meja di barisan kedua di dekat tembok ruang kelas. Tapi aku lihat ada sebuah tas berwarna pink disana “ah
padahal ini tempat yang paling kuinginkan”. Akhirnya kuputuskan untuk duduk
dibangku ketiga meskipun dengan rasa sedikit kecewa.
Suasana
kelas semakin ramai, semua penghuni kelas telah lengkap. Dihadapanku duduk
seorang wanita dengan rambut hitam sebahu yang sedari tadi tidak bersuara sedikitpun, tingkahnya sedikit
aneh fikirku. Ternyata ia gadis menyebalkan yang menatapku sinis hari itu dan
kini ia duduk di tempat yang sangat kuinginkan. Penilaianku padanya semakin tidak baik setelah hampir seminggu hidup sekelas
dengannya.
Satu
bulan dua bulan pun berlalu, masa SMP yang menyenangkan kusambut dengan suka
cita. Keakraban antara kami sesama penghuni kelas semakin terasa. Hari ini pak
Risal memberi tugas kelompok membuat sebuah peta dari kertas bekas dan harus
dikumpulkan empat hari kemudian.
Sepulang
sekolah setelah berganti pakaian dan berpamitan dengan ayah dan ibu. Kukayuh sepeda usangku dengan penuh semangat. Setelah
hampir dua puluh menit menyusuru jalanan berbatu akhirnya kusampai disebuah
rumah berwarna biru muda dengan pagar berwarna biru putih. Rumah itu tampak sepi tidak berpenghuni. Sepeda usang yang setia
mengantarkanku kemana saja aku ajak
memasuki pekarangan rumah yang tidak begitu
luas itu.
“Assalamualaikum....”
ku ketuk pintu kayu dihadapanku. Terdengar sebuah langkah mendekati pintu.
“waalaikumsalam...”
seorang gadis sebaya denganku dengan rambut sebahu yang terurai berdiri
dihadapanku. Kami berdua duduk di teras rumah itu menunggu teman yang tidak kunjung datang. 30 menit, satu jam, bahkan
hampir dua jam kami menunggu dalam keheningan namun tidak ada yang dating satupun.
“kenapa
mereka belum datang ?” aku mencoba mencairkan suasana yang sedari tadi
sangat beku.
“mungkin
hari tak jadi” jawabnya singkat
“tapi...”
“kalau
kamu mau pulang silahkan saja. Biar aku yang menyelesaikannya”
“tidak
! tidak bisa begitu, ini tugas kita semua. Bukan hanya tugas kamu. Aku akan tinggal
mengerjakannya sampai selesai meskipun mereka tak datang” aku semakin jengkel
padanya, ia hanya diam dan terus diam.
Tugas
membuat peta itu pun kami selesaikan setengahnya berdua dalam diam. Tidak ada suara yang berasal dari mulutnya ataupun aku. Hanya suara kicau burung dan
dedaunan yang tertiup angin. Sampai akhirnya kami sama-sama menemui kesulitan
untuk mencocokkan warna yang sesuai untuk peta dihadapan kami. Untuk
mempermudah memilih warna kugoyangkan tubuhku mendekat kearah tumpukan spidol
warna yang terletak tak jauh dari gadis menyebalkan itu. Aku semakin bingung,
tak jarang ku menggaruk kepal.
“mungkin
warna ini lebih cocok” dua buah sidol berwarna coklat tua dan muda ia berikan
padaku.
“oh
iya, sepertinya warna ini cocok”
“biar
aku saja yang memberi warna dibagian luarnya”
“kalau
begitu aku yang dibagian dalamnya”
Dengan
lincah tangan kami mewarnai bagian demi bagian peta dunia yang terbendang di
hadapan kami berdua. Tidak butuh
waktu lama, dalam dua jam peta itu telah terselesaikan oleh dua pasang tangan
gadis cantik.
“aaahhh
akhirnya....”
“ini
tidak buruk”
“iya,
besok siap untuk dipresentasikan”
“tapi,
kenapa mereka tak datang ?”
“mungkin
ada hal penting yang mendesak”
“aku
sedikit khawatir. Tapi, ah sudahlah.. yang jelas peta ini telah selesai”
sejenak aku memerhatikan rumah ini, mengapa tampak sangat sepi ? seperti tak
berpenghuni padahal sudah sore.
“kamu
sendirian ?” lanjutku
“emm”
menganggukkan kepalanya
“orang
tuamu kemana ?”
“kenapa
kamu sangat ingin tau ?”
“ahh
akuu...” waah orang ini benar-benar menyebalkan fikirku.
Hari
semakin sore langit pun akan segera berubah warna menjadi orange keemasan,
butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk tiba dirumah. Setelah berpamitan dan membereskan hasil kerja
kami berdua aku segera mengayuh si Ungu yang usang.
Pagi
menyapa kembali, tiba waktunya untuk mempresentasikan hasil kerja kami dihari
kemarin. Ana
salah seorang anggota kelompok kami membukanya dengan sangat baik. Aku dan Airin
sebagai pembicara utama. Kami
berdua benar-benar tim yang sangat hebat dalam bidang ini. Kemampuan bicara
Airin memang tak terkalahkan, ia benar-benar hebat untuk hal satu ini. Dengan fasih kami menyelesaikan
tugas itu dan hasilnya benar-benar memuaskan tepuk tangan dari seluruh penghuni
kelas membuat aku bangga
pada diriku sendiri dan juga pastinya pada Airin tanpanya hasil seindah ini tak
mungkin kami raih.
“kerjamu
bagus !” ini
pertama kalinya aku melihat senyum indah itu darinya. Wajahnya benar-benar
cantik saat sedang tersenyum.
“Nina,
Airin, maaf
kemarin kami tak datang... kemari tiba-tiba saja Rian mendapat musibah. Rian jatuh dari sepeda saat akan kerumah Airin,
jadi kami semua mengantar Rian pulang . maaf....” Ana menjelaskan alasan mengapa mereka tidak datang kerumah Airin kemarin dengan nada
dan ekspresi bersalah.
“sudahlah,
lagi pula kita berhasil menyelesaikan tugas ini dengan baik.”
“apa
Rian baik-baik saja ?” Airin kembali bercicara
“hmm..
iya untungnya luka Rian tak parah”
“syukurlah”
Aku
termenung mendengar kata-kata Airin, aku pikir dia orang yang sangat beku dan tidak bisa mengkhawatirkan orang lain, tapi
ternyata aku salah... Airin bukan orang yang sebeku itu. Dia hanya tidak tau bagaimana cara menunjukkan isi
hatinya.
Sejak
hari itu, aku lebih sering mendengar suara dan melihat senyuman indah gadis
itu, bahkan kami sering melewati hari bersama.
***
Setelah
lulus SMP kami memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di SMA yang sama. Setiap
hari dengan dua sepeda usang kami mengayuh dengan penuh semangat berharap hari
ini penuh dengan kecerian.
Tak
sedikit orang yang bertanya mengapa kami bisa berteman akrab dengan sikap Airin
yang bagi sebagian orang sangat menyebalkan dan sikapku yang selalu tak mau
mengalah. Meski
sebagian orang terkadang lelah melihat dan mendengarkan kami ketika sedang tak
sejalan. Tapi itulah sebuah pertemanan, tidak ada pertemanan yang dimulai dengan keakraban yang sangat akrab. Namun akan dimulai dengan kisah-kisah lucu tak
terbayangkan yang kelak akan kita tertawakan bersama betapa konyolnya sebuah
pertemuan pertama yang menyimpan kesan berjuta makna.
Tidak ada satu manusiapun yang sempurna. Selalu ada cela disetiap langkahnya. Namun celah itu akan senantiasa berjalan
beriringan bersama sebuah keistimewaan yang terkadang orang-orang tidak mampu melihatnya dengan mata bahkan diri
kita sendiripun terkadang tidak
menyadarinya. Butuh sebuah pengorbanan dan usaha untuk menemukan keistimewaan itu. Seperti itulah aku dan Airin, dibalik
kekurangan kami berdua ada sebuah
keitimewaan yang berjalan berdampingan dengan kekurangan itu. Hanya saja orang-orang tidak mampu melihat keitimewaan itu. Namun aku... aku melihat keistimewaan itu dalam
diri Airin. Keistimewaan
yang tidak
dimiliki oleh orang lain. Begitu pula sebaliknya, hanya Airin yang mampu
benar-benar melihat sisi lain dari seorang NINA. Ya, hanya Arin...
Entah
sampai kapan kaki ini akan terus berjalan beriringan dengannya, entah sampai
kapan kami akan berjalan dijalur yang sama, entah kapan takdir akan menunjukkan
jalan berbeda yang harus kami daki seorang diri, entah sampai kapan... kisah
ini akan kami rajut. Kisah ini bukanlah sebuah kisah istimewa tentang arti
sebuah persahabatan yang rela berkorban untuk seorang sahabat yang disayanginya. Namun seperti apa realita hidup untuk mencari sesosok teman yang kan ku sebut
“SAHABAT” meski aku tidak tau,
meski aku tidak
yakin.. ia kah orangnya ? inikah sebuah persahabatan yang selalu dijunjung
tinggi oleh beberapa orang ? inikah kisah luar biasa tentang arti seorang
sahabat ? kurasa bukan... ini hanya kisah sederhana bagaiman rasa nyaman itu
hadir setelah perdebatan panjang. Inilah sebuah proses untuk saling mengenal dan melihat diri orang
lain. Inilah saat ketika aku harus melihat sosok lain dalam diri seseorang untuk dapat mengenalnya. Bukan sekedar mengenal tapi benar-benar
mengenalnya...
Ia
Arin, kawanku... bukan karna semua persamaan yang menyatukan kami tapi sebuah
kisah lucu tentang sebuah ketidaknyamanan hingga aku dapatkan sebuah kenyamanan bersandar dan
tinggal didirinya. Kisah yang akan selalu kami rindukan, kisah penghibur lara
saat gunda menyapa, kisah yang tak dimiliki orang lain. Akankah kisah ini
seperti sepeda usang yang selalu mengantar dan menjadi saksi kisah ini ? yang
bertahan hingga akhir, yang meski telah usang namun tetap penuh makna.. meski
telah usang namun semangatnya tak pernah pudar. Semoga saja.....
Ini
bukan kisah hebat tapi inilah realita pencarian seorang kawan yang dimulai dari
titik terendah dan semoga akan selamanya berjalan bersama untuk nmencapai titik tertinggi. J
-Selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar