“Selangkah...”
H
|
ari ini
aku melihatnya lagi. Ia, dia ! sesosok makhluk yang Allah ciptakan yang entah
mengapa kini membuat hatiku terus bergetar tidak menentu. Tidak pernah
seharipun mataku melewatkan untuk tidak mencarinya. Astafirullah... entah ini
telah menjadi zina mata atau tidak tapi maafkan hamba-Mu yang tidak mampu mengendalikan diri Ya Rabb.
Aku mengenalnya hampir tiga bulan
terakhir ini, lebih tepatnya mengagumi dirinya dari titik tempatku berdiri.
Sebuah pertemuan yang tidak disengaja tanpa sadar membawaku mengenalnya lebih
jauh. Tubuhnya tidak begitu tinggi, tapi memiliki mata yang lebar dan alis
tebal yang selalu menarik perhatianku. Gaya berbusana yang cukup simple bisa dibilang dia termasuk pria
yang cuek, dan aku suka itu.
Aku masih terbilang baru di universitas
ini, kini aku baru saja memulai di semester dua. Proses adaptasi yang terbilang
kolot sungguh tidak menyenangkan. Tidak banyak yang mampu menarik perhatian dan
tidak ada sosok yang menarik !
Tetapi... ada satu hal yang
akhir-akhir ini membuat aku begitu bersemangat melangkahkan kaki ke
universitas. Sesosok wajah yang masih samar-samar menarik diriku semakin dalam.
Dia ! tidak salah lagi, sudah paasti DIA !
***
“Hoaaaammm...” entak ini uapan yang
keberapa di pagi ini. Kampus masih begitu sepi bahkan parkiran yang biasanya
penuh sesak sampai-sampai kaki kecilku kesulitan mencari cela kini begitu
leluasa melangkah bahkan berlari menyusuri parkiran fakultas yang hampir mirip
kuburan !
Beberapa orang telah datang dan
beberapa lainnya mulai berdatangan. Menunggu benar-benar menyebalkan, dan
menjengkelkannya orang indonesia tidak peranah tepat waktu. Hampir dua jam kami
menunggu, rasanya seperti ikan asin saja.
“Temana-teman, dosenya ngak jadi masuk
!!!”
Pengumuman dari Keti alias ketua tingkat
seketika membuat kelas menjadi gaduh layaknya pasar. Ada yang kesal karena
sudah lama menunggu, ada yang nge-judge dosen
PHP, bahkan ada yang sampe ngomel-ngomel sendiri ngak jelas saking kesalnya.
Kehidupan kuliah memang tidak seindah
yang dibayangkan selama masa SMA, dan di-PHP-in sama dosen itu jadi hal yang
biasa. Meski kesal tapi sebagai mahasiswa tetap tidak bisa melakukan apa-apa.
“Kantin yuk...laper nih !”
“Makan apa kita ? em? em?”
“De’ makan yuk... udah demo nih !”
tanpa pikir panjang lagi Via langsung menarik tanganku.
Mita dan Risa memimpin perjalanan
berburu santapan kami kali ini. Sedangkan aku dan Via mengekori mereka dari
belakang. Tapi tiba-tiba...
“De? Dea?” melototiku heran “Deaaaaaaaaaaaa”
Aku melihatnya. Ia, aku melihatnya
lagi. Awalnya aku ragu, tapi kini aku benar-benar yakin itu dia!. Dengan t-shirt merah dia berjalan melewatiku
seolah tidak menyadari keberadaanku. Aku terus menatap punggungnya sampai dia
benar-benar menghilang.
“Dea kamu ngak apa-apa?” suara yang
tidak asing membawa kembali kesadaranku.
“Em?” ku tatap mereka “aku ngak
apa-apa kok”
“Yakin ?”
“Em. Yakin !”
***
Dia
melewatiku. Dia kembali melewatiku seakan aku tidak ada. Setiap kali berhadapan
denganya aku hanya mampu mematung sampai sosoknya benar-benar menghilang dari
kedua bola mata ini. Sudah lima bulan aku bertahan dititik ini, sendirian.
Menatapnya dari jauh, mengaguminya diam-diam, mencintainya dengan caraku dan
menjadi pemain dibalik layar.
Dia seorang senior dan kini telah
semester empat. Kami pertama kali berkenalan lewat semuah media sosial-tepatnya
aku yang mengenalnya, dia tidak-. Awalnya aku tidak menghiraukannya, mengacuhkannya,
dan menganggapnya tidak ada. Namun setelah melihatnya langsung untuk pertama
kalinya aku hanya bisa berdiam diri ditempatku. Ini pertama kalinya setelah
kurang lebih enam bulan aku ditempat ini. Ini pertama kalinya, ada yang mampu
membuat nafasku terhenti sejenak, ini pertama kalinya jantungku berdebar, ini
pertama kalinya aku terpikat.
Dia menjadi satu diantara beberapa
alasan lainnya untuk kakiku melangkah menuju kampus. Dia yang membuat kantukku
sirna dipagi hari, dia yang memberi aku senyum untuk memulai hari, dia yang
membuat aku menutup hari dengan senyum. Dia penyemangatku, tapi dia tidak
menganaliku....
***
Azan
zuhur berkumandang, air wudhu yang menyentuh kulitku terasa begitu sejuk.
Kakiku melangkah menaikki anak-anak tangga menuju pintu rumah Allah. Kedua bola
mataku terhenti pada satu titik. Itu dia! aku melihanya. “Alhamdulillah...Terimakasih Ya Rabb....” sekian hari aku telah
menunggu hari ini, melihatnya berada di salah satu tempat yang Engkau
dimuliakan, sungguh hatiku semakin tidak kuat memandang wajahnya yang dibasuh
air wudhu itu.
Dalam setiap sujudku selalu aku
sematkan namanya, memohon ampun mencintai makhluk-Mu hingga terkadang aku tidak
sadar diri. Namun tidak kuasa hatiku ber-munajad
kepada-Mu “Izinkan dia menjadi yang halal”.
Hanya melihat senyumnya aku tidak
kuasa, meski tidak terlihat aku menikmatinya. Terabaikan terlampau sering aku
rasakan, menjadi yang tidak terlihat memang adalah pilihanku. Tapi... sampai
kapan pucuk yang merindukan bulan mampu bertahan? Hingga kapan hati yang
merindu sanggup terabaikan? Bertahun-tahun hanya melihat kearahnya tapi tidak
sekalipun dia melihat kearahku. Aku mulai lelah...
***
Terkadang
aku merasa lelah, hatiku mulai teriris. Setiap kali kedua bola mata ini
menemukan sosoknya bersama yang lain, setiap kali telinga ini mendengar dia
menyebutkan nama wanita lain, setiap kali mata ini melihat dia termenung
seperti orang bodoh menunggu seseorang yang tidak pernah melihat kearahnya dan
setiap kali dia berucap satu nama dan itu bukan aku.
Aku
rebahkan kepala ini di pundak Vina, kawan setia yang selama tiga tahun ini
menguatkanku berdiri dititik yang tidak terlihat bermain dibelakang layar.
Segala beban kucurahkan kepadanya, ada rasa lelah atas penantian tidak
berujung...
“Deaaa”
“Aku menyerah...”
“Menyerah untuk apa?”
“Menyerah untuk berdiri ditempatku”
“Tempat apa?”
“tempat dimana aku hanya bisa
menatapnya dari jauh, mencari-cari sosoknya di pagi hari, membeku seperti
patung setiap kali dia berada didekatku, menjadi pemain dibalik layar dan
menjadi orang yang selalu menyebut namanya dalam sujudku padahal dia tidak
pernah tahu.”
“Dia siapa?”
“Dia yang tidak pernah menganggapku ada,
dia yang selalu berlalu melewatiku, dia yang selalu tidak menyadari
keberadaanku, dia yang selalu sibuk dengan dunianya yang tidak bisa aku
sentuh...”
“Deaaaa...”
“Aku selalu ada dibelakangnya, tapi
tidak dia rasakan. Aku selalu ada disampingnya, tapi tidak dia sadari. Aku
selalu ada dihadapannya tapi tetap masih tidak dia lihat. Aku....”
“Aku apa?” suara yang tidak asing
untukku, membuat lidahku kaku tidak mampu berkata-kata lagi. Perlahan namun
pasti tubuhku menoleh kebelakang. Dan... wajahku memerah layaknya sebuah
kepiting yang tengah direbus. Bagaimana mungkin? Sejak kapan? Apa yang dia
lakukan? Dia mendengarnya? Aku sangat malu hingga hanya mampu menutup mukaku
dengan kedua telapak tangan lalu berlari sekencang-kencangnya dari hadapannya.
“Kenapa engkau lari ?” kini aku
tertangkap. “Apa yang salah?”
“Sejak kapan ?” wajahku masih
tertunduk. Aku masih terlalu malu untuk menatapnya
“Sejak kapan kamu berdiri dititik itu
sendirian ?”
“Aku....” perlahan wajahku terangkat
dan mataku menatap dua bola mata yang berbinar
“Sejak kapan aku menjadi pria bodoh
yang tidak menyadari seorang bidadari dibelakangku? tidak merasakan kehadiranya
disampingku? Dan sejak kapan aku menjadi buta tidak melihat dia yang begitu
bersinar berdiri dihadapanku....”
“Kakak...”
“Maafkan aku yang terlalu bodoh. Aku
terlalu sibuk mencari sampai terbuai dan tidak sadar, yang kucari selama ini
berada tepat di depan kedua bola mataku.”
“Aku...”
“Sanggupkah kamu menunggu sedikit
lebih lama lagi?”
Hanya sebuah senyuman yang mampu aku
berikan
“Beri aku satu kesempatan lagi. Dan
aku mohon bersabarlah untuk menunggu sedikit lagi. Aku akan datang... pasti.”
***
Satu
tahun berlalu setelah kekulusan kak Adi. Iya, kak Adi. Dialah orang yang selama
ini membuat aku menjadi orang bodoh yang bermain dibalik layar selama
bertahun-tahun. Tidak ada satupun kabar darinya setelah dia berhasil menyandang
gelar sarjana. Tapi dia menitipkan sebuah janji yang masih aku ingat sejak satu
tahun yang lalu.
Bulan lalu aku juga resmi menyandang
gelar sarjana yang aku persembahkan untuk kedua orang tuaku dan seseorang yang
hadir hari itu untuk menemuiku dan mengatakan...
“Aku pulang. Untuk memenuhi janjiku,
untuk menjadikanmu sumber ibadahku, tempatku berteduh dan menjadi bidadari
tidak bersayap untukku. Bersediakah kamu
menjadi ma’mumku yang halal...? ”
Iya, itu dia. Laki-laki yang membuat
diriku terpanah sejak pertemuan pertama kami, laki-laki yang berjanji lalu
menghilang tanpa jejak, laki-laki yang membuat aku selalu menunggu dan
laki-laki yang memintaku menjadi ma’mumnya yang halal tepat didepan kedua orang
tuaku.
Bulan depan kami akan melangsungkan
sebuah ikatan suci dan semoga ini akan menjadi awal dari tambang ibadah kami
kepada-Nya. Inilah sebuah kisah yang aku sematkan pada langkah-langkah yang
tidak pernah terlihat, langkah-langkan kakiku yang tidak pernah terdengar,
tetapi menjadi sebuah bagian indah dalam kisahku.
“Karena sebuah langkah mampu membawamu ketempat
yang tidak engkau duga....”
-SELESAI-
-Amriani Sakra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar