Senin, 14 Maret 2016

...^^

Selangkah...”
H
ari ini aku melihatnya lagi. Ia, dia ! sesosok makhluk yang Allah ciptakan yang entah mengapa kini membuat hatiku terus bergetar tidak menentu. Tidak pernah seharipun mataku melewatkan untuk tidak mencarinya. Astafirullah... entah ini telah menjadi zina mata atau tidak tapi maafkan hamba-Mu  yang tidak mampu mengendalikan diri Ya Rabb.

          Aku mengenalnya hampir tiga bulan terakhir ini, lebih tepatnya mengagumi dirinya dari titik tempatku berdiri. Sebuah pertemuan yang tidak disengaja tanpa sadar membawaku mengenalnya lebih jauh. Tubuhnya tidak begitu tinggi, tapi memiliki mata yang lebar dan alis tebal yang selalu menarik perhatianku. Gaya berbusana yang cukup simple bisa dibilang dia termasuk pria yang cuek, dan aku suka itu.

          Aku masih terbilang baru di universitas ini, kini aku baru saja memulai di semester dua. Proses adaptasi yang terbilang kolot sungguh tidak menyenangkan. Tidak banyak yang mampu menarik perhatian dan tidak ada sosok yang menarik !

          Tetapi... ada satu hal yang akhir-akhir ini membuat aku begitu bersemangat melangkahkan kaki ke universitas. Sesosok wajah yang masih samar-samar menarik diriku semakin dalam. Dia ! tidak salah lagi, sudah paasti DIA !
***

          “Hoaaaammm...” entak ini uapan yang keberapa di pagi ini. Kampus masih begitu sepi bahkan parkiran yang biasanya penuh sesak sampai-sampai kaki kecilku kesulitan mencari cela kini begitu leluasa melangkah bahkan berlari menyusuri parkiran fakultas yang hampir mirip kuburan !

          Beberapa orang telah datang dan beberapa lainnya mulai berdatangan. Menunggu benar-benar menyebalkan, dan menjengkelkannya orang indonesia tidak peranah tepat waktu. Hampir dua jam kami menunggu, rasanya seperti ikan asin saja.

          “Temana-teman, dosenya ngak jadi masuk !!!”

          Pengumuman dari Keti alias ketua tingkat seketika membuat kelas menjadi gaduh layaknya pasar. Ada yang kesal karena sudah lama menunggu, ada yang nge-judge dosen PHP, bahkan ada yang sampe ngomel-ngomel sendiri ngak jelas saking kesalnya.
          
Kehidupan kuliah memang tidak seindah yang dibayangkan selama masa SMA, dan di-PHP-in sama dosen itu jadi hal yang biasa. Meski kesal tapi sebagai mahasiswa tetap tidak bisa melakukan apa-apa.
          “Kantin yuk...laper nih !”
          “Makan apa kita ? em? em?”
          “De’ makan yuk... udah demo nih !” tanpa pikir panjang lagi Via langsung menarik tanganku.
          Mita dan Risa memimpin perjalanan berburu santapan kami kali ini. Sedangkan aku dan Via mengekori mereka dari belakang. Tapi tiba-tiba...
          “De? Dea?” melototiku heran “Deaaaaaaaaaaaa”
          Aku melihatnya. Ia, aku melihatnya lagi. Awalnya aku ragu, tapi kini aku benar-benar yakin itu dia!. Dengan t-shirt merah dia berjalan melewatiku seolah tidak menyadari keberadaanku. Aku terus menatap punggungnya sampai dia benar-benar menghilang.
          “Dea kamu ngak apa-apa?” suara yang tidak asing membawa kembali kesadaranku.
          “Em?” ku tatap mereka “aku ngak apa-apa kok”
          “Yakin ?”
          “Em. Yakin !”
***
         
Dia melewatiku. Dia kembali melewatiku seakan aku tidak ada. Setiap kali berhadapan denganya aku hanya mampu mematung sampai sosoknya benar-benar menghilang dari kedua bola mata ini. Sudah lima bulan aku bertahan dititik ini, sendirian. Menatapnya dari jauh, mengaguminya diam-diam, mencintainya dengan caraku dan menjadi pemain dibalik layar.

          Dia seorang senior dan kini telah semester empat. Kami pertama kali berkenalan lewat semuah media sosial-tepatnya aku yang mengenalnya, dia tidak-. Awalnya aku tidak menghiraukannya, mengacuhkannya, dan menganggapnya tidak ada. Namun setelah melihatnya langsung untuk pertama kalinya aku hanya bisa berdiam diri ditempatku. Ini pertama kalinya setelah kurang lebih enam bulan aku ditempat ini. Ini pertama kalinya, ada yang mampu membuat nafasku terhenti sejenak, ini pertama kalinya jantungku berdebar, ini pertama kalinya aku terpikat.

          Dia menjadi satu diantara beberapa alasan lainnya untuk kakiku melangkah menuju kampus. Dia yang membuat kantukku sirna dipagi hari, dia yang memberi aku senyum untuk memulai hari, dia yang membuat aku menutup hari dengan senyum. Dia penyemangatku, tapi dia tidak menganaliku....
***
         
Azan zuhur berkumandang, air wudhu yang menyentuh kulitku terasa begitu sejuk. Kakiku melangkah menaikki anak-anak tangga menuju pintu rumah Allah. Kedua bola mataku terhenti pada satu titik. Itu dia! aku melihanya. “Alhamdulillah...Terimakasih Ya Rabb....” sekian hari aku telah menunggu hari ini, melihatnya berada di salah satu tempat yang Engkau dimuliakan, sungguh hatiku semakin tidak kuat memandang wajahnya yang dibasuh air wudhu itu.

          Dalam setiap sujudku selalu aku sematkan namanya, memohon ampun mencintai makhluk-Mu hingga terkadang aku tidak sadar diri. Namun tidak kuasa hatiku ber-munajad kepada-Mu “Izinkan dia menjadi yang halal”.

          Hanya melihat senyumnya aku tidak kuasa, meski tidak terlihat aku menikmatinya. Terabaikan terlampau sering aku rasakan, menjadi yang tidak terlihat memang adalah pilihanku. Tapi... sampai kapan pucuk yang merindukan bulan mampu bertahan? Hingga kapan hati yang merindu sanggup terabaikan? Bertahun-tahun hanya melihat kearahnya tapi tidak sekalipun dia melihat kearahku. Aku mulai lelah...
***
         
Terkadang aku merasa lelah, hatiku mulai teriris. Setiap kali kedua bola mata ini menemukan sosoknya bersama yang lain, setiap kali telinga ini mendengar dia menyebutkan nama wanita lain, setiap kali mata ini melihat dia termenung seperti orang bodoh menunggu seseorang yang tidak pernah melihat kearahnya dan setiap kali dia berucap satu nama dan itu bukan aku.

Aku rebahkan kepala ini di pundak Vina, kawan setia yang selama tiga tahun ini menguatkanku berdiri dititik yang tidak terlihat bermain dibelakang layar. Segala beban kucurahkan kepadanya, ada rasa lelah atas penantian tidak berujung...
          “Deaaa”
          “Aku menyerah...”
          “Menyerah untuk apa?”
          “Menyerah untuk berdiri ditempatku”
          “Tempat apa?”
          “tempat dimana aku hanya bisa menatapnya dari jauh, mencari-cari sosoknya di pagi hari, membeku seperti patung setiap kali dia berada didekatku, menjadi pemain dibalik layar dan menjadi orang yang selalu menyebut namanya dalam sujudku padahal dia tidak pernah tahu.”
          “Dia siapa?”
          “Dia yang tidak pernah menganggapku ada, dia yang selalu berlalu melewatiku, dia yang selalu tidak menyadari keberadaanku, dia yang selalu sibuk dengan dunianya yang tidak bisa aku sentuh...”

          “Deaaaa...”

          “Aku selalu ada dibelakangnya, tapi tidak dia rasakan. Aku selalu ada disampingnya, tapi tidak dia sadari. Aku selalu ada dihadapannya tapi tetap masih tidak dia lihat. Aku....”

          “Aku apa?” suara yang tidak asing untukku, membuat lidahku kaku tidak mampu berkata-kata lagi. Perlahan namun pasti tubuhku menoleh kebelakang. Dan... wajahku memerah layaknya sebuah kepiting yang tengah direbus. Bagaimana mungkin? Sejak kapan? Apa yang dia lakukan? Dia mendengarnya? Aku sangat malu hingga hanya mampu menutup mukaku dengan kedua telapak tangan lalu berlari sekencang-kencangnya dari hadapannya.

          “Kenapa engkau lari ?” kini aku tertangkap. “Apa yang salah?”
          “Sejak kapan ?” wajahku masih tertunduk. Aku masih terlalu malu untuk menatapnya
          “Sejak kapan kamu berdiri dititik itu sendirian ?”
          “Aku....” perlahan wajahku terangkat dan mataku menatap dua bola mata yang berbinar
          “Sejak kapan aku menjadi pria bodoh yang tidak menyadari seorang bidadari dibelakangku? tidak merasakan kehadiranya disampingku? Dan sejak kapan aku menjadi buta tidak melihat dia yang begitu bersinar berdiri dihadapanku....”
          “Kakak...”
          “Maafkan aku yang terlalu bodoh. Aku terlalu sibuk mencari sampai terbuai dan tidak sadar, yang kucari selama ini berada tepat di depan kedua bola mataku.”
          “Aku...”
          “Sanggupkah kamu menunggu sedikit lebih lama lagi?”
          Hanya sebuah senyuman yang mampu aku berikan
          “Beri aku satu kesempatan lagi. Dan aku mohon bersabarlah untuk menunggu sedikit lagi. Aku akan datang... pasti.”
***
         
Satu tahun berlalu setelah kekulusan kak Adi. Iya, kak Adi. Dialah orang yang selama ini membuat aku menjadi orang bodoh yang bermain dibalik layar selama bertahun-tahun. Tidak ada satupun kabar darinya setelah dia berhasil menyandang gelar sarjana. Tapi dia menitipkan sebuah janji yang masih aku ingat sejak satu tahun yang lalu.

          Bulan lalu aku juga resmi menyandang gelar sarjana yang aku persembahkan untuk kedua orang tuaku dan seseorang yang hadir hari itu untuk menemuiku dan mengatakan...

          “Aku pulang. Untuk memenuhi janjiku, untuk menjadikanmu sumber ibadahku, tempatku berteduh dan menjadi bidadari tidak bersayap untukku. Bersediakah kamu menjadi ma’mumku yang halal...?

          Iya, itu dia. Laki-laki yang membuat diriku terpanah sejak pertemuan pertama kami, laki-laki yang berjanji lalu menghilang tanpa jejak, laki-laki yang membuat aku selalu menunggu dan laki-laki yang memintaku menjadi ma’mumnya yang halal tepat didepan kedua orang tuaku.

          Bulan depan kami akan melangsungkan sebuah ikatan suci dan semoga ini akan menjadi awal dari tambang ibadah kami kepada-Nya. Inilah sebuah kisah yang aku sematkan pada langkah-langkah yang tidak pernah terlihat, langkah-langkan kakiku yang tidak pernah terdengar, tetapi menjadi sebuah bagian indah dalam kisahku.
“Karena sebuah langkah mampu membawamu ketempat yang tidak engkau duga....”

-SELESAI-

-Amriani Sakra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar