JENDELA
S
|
uatu malam hari yang dingin karena hujan begitu derasnya
tanpa sela, saya pulang ke rumah. Ternyata, jendela kamar masih terbuka. Dengan
pakean agak basah, segera saya menutup jendela, menyalakan lampu, berganti
pakaian lalu memakai jaket.
Setelah beberapa saat, diselingi dengan
meminum teh hangat, saya merasakan tubuh kembali merasakan kehangatan di tengah
tiupan angin yang dingin dan hujan yang deras
Saya pun lalu tertidur pulas. Mengarungi mimpi hingga
puas.
Kadang, di keramaian yang membuat kita terombang-ambing
tidak menentu, kita merasa kesepian, bingung, dan tidak nyaman. Mencari sebuah cela,
mungkin akan ada perahu yang sedang menanti di sudut sana.
***
“Kringgggg....” suara itu terdengar lagi, entah sudah
yang kesekian kalinya.
“Halo...”
terdengar sapaan singkat di ujung sana.
Dia memulai ceritanya, sesekali terdiam, menahan nafas
dan akhirnya tersisa isak tangis kepedihan.
“Sabar...
pada akhirnya kebenaran itu akan datang tanpa harus mengundanganya...”
“Aku akan
menerima semuanya, jika itu kebenarannya. Tapi tidak kah dia lelah terus
berbohong?”
“Bukan
kebohongan atau kenyataan yang membuatmu tersakiti tetapi fakta bahwa sakit itu
selalu datang dan kamu tidak berdaya mengantarnya pulang.”
“Lalu apa
yang harus aku lakukan sekarang? Membiarkanya membodohiku? Tidak! itu sama saja
mengakui kebodohanku. Melepaskan dia
begitu saja? Bukan kah itu berarti aku lemah?”
“Tidak!
kamu melepaskannya bukan karena kamu lemah atau bodoh. Melainakan karena kamu
adalah perempuan kuat dan pintar...”
“Bagaimana
mungkin...”
“Bukankah
dia yang bodoh? Hidup dalam satu kebohongan yang mehirkan satu, dua bahkan tiga
kebohongan lainnya. Tidak kah kebohongan itu akan terusik dan keluar
kepermukaan? Bukan kah kamu adalah wanita yang pintar? Membiarkan sebuah
penghianatan pergi darimu. Tidak kah penghinatan itu kelak bisa berbalik ke
arah si penghianat itu sendiri?”
***
Sekali lagi air matanya jatuh. Wajahnya tertunduk,
kepalanya bersandar di bahu saya. Isak tangis itu terus berlanjut untuk
beberapa saat.
“Kenapa
harus berbohong? Apa salah aku sebenarnya?” suaranya terdengar sangat berat.
Terpancar jelas dalam raut wajah mungil itu ada sakit yang tidak tertahankan,
ada luka yang basah, ada rasa kesal yang teramat dalam.
“Cinta
bukan sebuah kejahatan” ungkapan itu yang selama ini saya percayai dan sampai
detik ini tetap begitu. Namun mengapa begitu banyak problematika cinta yang
datang? Bukan kah cinta bukan sebuah kejahatan, namun mengapa cinta sering kali
membuat pertikaian? Mengapa cinta menggoreskan luka? Mengapa cinta mampu
melahirkan kebencian? Mengapa.....
Saya
menepuk-nepuk satu sisi bahu dirinya, berharap beban yang ada di sana bisa
sejenak sirna. Semua mata memanang kearahnya, namun tangisnya tak kunjung usai.
Saya mendekap tubuhnya berharap dia tahu, ada tempat yang dapat dia tuju saat
lelah menghapiri, kala luka tak mampu terbentung lagi.
***
-28 April-
Hari ini hujan turun lagi, mengguyur seluruh
sudut kota. Dengan sebuah payung ditangan saya melangkahkan kaki menyusuri
jalanan yang dipenuhi genangan air. Air hujan menyentuh tanah bergantian
membuat nada-nada yang sulit tuk ditafsirkan. Membentuk bulatan-bulanan dalam
genangan. Jalan raya terlihat tidak sepadat hari-hari biasanya, entah itu
karena hujan yang turun hari ini atau karena hal lain.
Hari
mulai gelap, namun tidak mengurungkan niat beberapa pasang insan untuk tetap
memadu kasih. Mata saya terpaku pada seorang wanita dan pria di bawah pohon
itu, sang pria memberikan jaketnya untuk mereka gunakan bersama menghindari
tetes demi tetes hujan. Sejenak saya terpaku, betapa hebatnya cinta mampu membuat sepasang
anak manusia rela berdiri di bawah pohon, saling memandang dengan penuh cinta,
tidak menghiraukan tetes hujan yang jatuh.
Angin bertiup kencang membuat beberapa
diantara mereka berteriak bersamaan. Saya hanya mampu tersenyum. Pakean yang
saya kenakan mulai berubah warna menjadi lebih gelap dan terasa sedikit berat
dari sebelumnya.
“Aaaahhh...
“ akhirnya saya tiba juga. Kini saya ada di rumah. Ternyata, jendela kamar
masih terbuka. Dengan pakean agak basah, segera saya menutup jendela,
menyalakan lampu, berganti pakaian lalu memakai jaket.
Di luar sana
terlihat beberapa anak kecil berlari kegirangan tanpa menghiraukan pakean
mereka yang menjadi basah. Kaki-kaki itu melangkah di atas genangan air.
Tersenyum lepas tanpa beban.
Setelah beberapa saat, diselingi dengan
meminum teh hangat, saya merasakan tubuh kembali merasakan kehangatan di tengah
tiupan angin yang dingin dan hujan yang deras
Saya pun lalu tertidur pulas. Mengarungi mimpi hingga
puas.
Esok paginya saya terbangun oleh dering telepon.
“Halo...” suara itu tidak asing. Saya mengenalnya, jelas mengenalnya.
***
“Aku
tidak berbohong Ay, Sungguh !” tapi mengapa rasanya aneh, otak ingin percaya
namun hati berkata tidak.
“Aku
tidak bilang kamu berbohong, aku hanya bertanya.”
“Tapi
kamu seakan menyudutkan aku saat ini”
Saya
menarik nafas sedalam mungkin, berharap tidak terpancing untuk larut dalam
emosi.
Siang
tadi saat berjalan di sebuah pusat perbelanjaan, saya melihat sesosok pria
berjalan bersama seorang wanita disampingnya. Bukan pemandangan yang baru
memang, tapi ketika melihat sosoknya saya hanya mampu membeku di tempat.
Pria itu
perlahan berjalan menghampiri saya, dengan senyum yang sulit di tafsirkan dia
menyapa sejenak lalu melangkah pergi dengan wanita yang sejak tadi berdiri di
balik punggungnya sembari merunduk dengan wajah murung.
Dan saya
masih berdiri mematung di tempat yang sama. “Dia..?? bagaimana bisa ??” pria
tadi orang yang sangat saya kenal, saya yakin itu dengan seyakin yakinnya.”
Menyaksikan
“Penghianatan” tepat di depan mata saya kembali membuat saya bertanya-tanya,
bukankah “Cinta bukan sebuah kejahatan?” tapi mengapa mereka yang tulus dan
memberi segenap hati harus tersakiti ?
***
Hari ini
hujan turun lagi, dan saya baru saja sampai di rumah dengan pakaian yang basah
kuyup. Saya pun lalu tertidur pulas. Mengarungi mimpi hingga puas.
Esok paginya saya terbangun oleh dering
telepon. “Halo...” suara itu tidak asing. Saya mengenalnya, jelas mengenalnya.
“Ay, hari
ini perginya di tunda saja yah..”
“Loh,
kenapa ?”
“Hari ini
Ari tidak bisa...”
“Bukannya
hari ini tidak ada jadwal kuliah ?”
“Iya,
tapi tadi katanya dia tiba-tiba ada rusan penting”
“Urusan
?”
“Maaf
yaa...” Telpon diakhiri.
Apa mau
dikata saat rencana hanya tinggal wacana. Rencana yang telah tersusun rapi hari
ini harus terelakan karena alasan yang masih tidak di mengerti oleh otak saya.
Mengisi
kesosongan di hari libur akibat batalnya segala rencana, saya melangkahkan kaki
seorang diri ke dalam sebuat pusat perbelanjaan. Mengikuti kemana arah kaki ini
ingin melangkah, menikmati kesendirian di tengah keramaian.
Sejenak
keheningan menyapa, rasa dingin yang menjalar jadi ujung kaki ke seluruh tubuh
membuat diri ini mematung. Sesosok pria yang sungguh tidak asing sedang berdiri
beberapa meter di hadapan saya. Namun ada yang aneh, ia tidak sendirian, ada
yang berdiri tepat di sampingnya. Wanita itu berbalik kearah saya dan ikut
membeku.
Pria itu
berjalan ke arah saya dan di ikuti oleh wanita tadi di balik punggungnya.
Sejenak menyapa lalu menghilang entah kemana. Saya masih mematung tidak
mengerti apa yang harus di lakukan.
Setelah
mampu menguasai diri sendiri, saya menarik Hand
phone keluar dari tas.
“Halo ?”
“Kamu di
mana ?”
“Di
rumah. Kenapa Ay?”
“Kalau
Ari ?”
“Tadi
katanya masih di rumah temannya. Kerja tugas kuliah katanya.”
“Yakin ?”
“Maksudnya?”
-Sejenak
hening-
“Ay? Ada apa?
Ay??”
Bagaimana
cara untuk memulainya? Haruskah mengungkapkan kebenaran saat itu menorehkan
kesedihan, atau haruskah berbohong dalam kebodohan?
***
“Hari itu
aku bertemu dengan Ari..” dengan hati-hati bibir ini berucap “Ia bersama dengan
seorang wanita...” saya melanjutkan.
Wajahnya
tertunduk, murung, menahan tagis.
“Ini yang
terakhir kali, sekali lagi dia mengulanginya aku yang akan mengakhiri hubungan
ini !” ucapnya kala itu.
Hari-hari
dia lewatkan dengan menahan rasa amarah, curiga sering kali menyapa, namun
cinta tak mampu di pungkiri. Berulang kali Ari melakukan penghianatan dengan
wanita berbeda namun dia tetap bertahan dengan rasa yang membuatnya seakan
ingin lari dari kenyataan.
Tersenyum
terus ia coba lakukan, namun tangis tetap tak ingin bersembunyi. Menutup mata
pada kenyataan, mencoba memahami keadaan, menerima kekurangan, melahap segala
kepahitan, dan tertawa di balik tangis.
“Apakah
Cinta itu Buta?” ungkapan yang kini menjadi pertanyaan, namun sungguh ambigu.
“Cinta bukanlah sebuah kejahatan” namun mengapa begitu banyak air mata yang
terbuang karenanya?
Jendela memberi ruang pada udara untuk masuk
ke dalam rumah, membuat penghuni di dalamnya mampu bernafas dengan nyaman.
Jendela
memberi kesempatan sinar mentari masuk ke dalam rumah memberi kehangatan di
pagi hari.
Jendela memberi
kesempatan untuk menatap dunia luar, menyaksikan dan mengamati meski yang
terlihat tidak selamanya benar-benar terjadi. Jendela memberi kesempatan untuk
mendengar suara di luar sana, meski yang terdengar tidak selamnya sebuah
kebenaran.
***
-12 Juni-
“Semalam
dia menelponku”
“Apa
katanya ?”
“Dia menyayangiku...”
–sejenak hening- “Katanya aku adalah wanita yang baik, aku wanita yang mampu
membuatnya tersenyum, dan dia memilihku bukan karena orang lain, tapi...”
“Tapi...?” dia mencoba menahan tangis, saya
merasakannya, dia terluka
“Tapi... dia meminta maaf.
Dia tidak bisa berjalan beriringan bersama denganku lagi.”
Tangisnya pecah, kepedihannya tidak terbendung
lagi, usahanya sia-sia, dan kecurigaannya benar.
Dea
adalah sahabat saya, 5 bulan yang lalu dia memutuskan untuk menjalin sebuah
hubungan seorang pria. Dea tampak begitu bahagia, senyum tak pernah lepas dari
wajahnya. Namun pandangan indah itu perlahan menghilang dan digantikan oleh
cemas.
“Ada yang
aneh !” kalimat itu terus saja berulang dari bibir kecilnya, ia mulai menangis
dan terus menangis.
Malam itu kembali lagi dengan tangis Dea menelpon saya,
di ujung telpon
tangisnya tak berujung. Satu persatu kebohongan dari
kekasihnya terkuak di permukaan. Dan ke-esokan harinya, Dea kembali menangis,
dia menagis dalam pelukan saya semua mata memandang namun tak satu pun kami
hiraukan.
Sekali lagi air matanya jatuh. Wajahnya
tertunduk, kepalanya bersandar di bahu saya. Isak tangis itu terus berlanjut
untuk beberapa saat.
“Kenapa
harus berbohong? Apa salah aku sebenarnya?” suaranya terdengar sangat berat.
Terpancar jelas dalam raut wajah mungil itu ada sakit yang tidak tertahankan,
ada luka yang basah, ada rasa kesal yang teramat dalam.
“Cinta
bukan sebuah kejahatan” ungkapan itu yang selama ini saya percayai dan sampai
detik ini tetap begitu. Namun mengapa begitu banyak problematika cinta yang
datang? Bukan kah cinta bukan sebuah kejahatan, namun mengapa cinta sering kali
membuat pertikaian? Mengapa cinta menggoreskan luka? Mengapa cinta mampu
melahirkan kebencian? Mengapa.....
Saya
menepuk-nepuk satu sisi bahu dirinya, berharap beban yang ada di sana bisa
sejenak sirna. Semua mata memanang kearahnya, namun tangisnya tak kunjung usai.
Saya mendekap tubuhnya berharap dia tahu, ada tempat yang dapat dia tuju saat
lelah menghapiri, kala luka tak mampu terbentung lagi.
***
Tidak kah kebohongan itu membuat kamu lelah?
bukankah satu kebohongan mampu melahirkan kebohongan lainnya? Lalu mengapa kamu
masih bertahan dengan kebohongan itu?
Ada
sebuah jendela di sudut ruangan itu, langkahkan kaki kamu dan mendekatlah
kepadanya. Pandangi ia sejenak, lalu bukalah. Lihat lah! Ada sebuah dunia
diluar sana, indah bukan? Pandangi segala hal yang mampu terjangkau oleh kedua
bola mata kamu. Ada beribu kehidupan, ada berjuta kisah dan akan selalu ada
satu alasan untuk bahagia.
-END-
Amriani Sakra