Senin, 14 Maret 2016

Monggo...

JENDELA

S
uatu malam hari yang dingin karena hujan begitu derasnya tanpa sela, saya pulang ke rumah. Ternyata, jendela kamar masih terbuka. Dengan pakean agak basah, segera saya menutup jendela, menyalakan lampu, berganti pakaian lalu memakai jaket.

Setelah beberapa saat, diselingi dengan meminum teh hangat, saya merasakan tubuh kembali merasakan kehangatan di tengah tiupan angin yang dingin dan hujan yang deras

Saya pun lalu tertidur pulas. Mengarungi mimpi hingga puas.

Kadang, di keramaian yang membuat kita terombang-ambing tidak menentu, kita merasa kesepian, bingung, dan tidak nyaman. Mencari sebuah cela, mungkin akan ada perahu yang sedang menanti di sudut sana.
***

“Kringgggg....” suara itu terdengar lagi, entah sudah yang kesekian kalinya.

          “Halo...” terdengar sapaan singkat di ujung sana.

Dia memulai ceritanya, sesekali terdiam, menahan nafas dan akhirnya tersisa isak tangis kepedihan.

          “Sabar... pada akhirnya kebenaran itu akan datang tanpa harus mengundanganya...”

          “Aku akan menerima semuanya, jika itu kebenarannya. Tapi tidak kah dia lelah terus berbohong?”

          “Bukan kebohongan atau kenyataan yang membuatmu tersakiti tetapi fakta bahwa sakit itu selalu datang dan kamu tidak berdaya mengantarnya pulang.”

          “Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Membiarkanya membodohiku? Tidak! itu sama saja mengakui kebodohanku.  Melepaskan dia begitu saja? Bukan kah itu berarti aku lemah?”

          “Tidak! kamu melepaskannya bukan karena kamu lemah atau bodoh. Melainakan karena kamu adalah perempuan kuat dan pintar...”

          “Bagaimana mungkin...”

          “Bukankah dia yang bodoh? Hidup dalam satu kebohongan yang mehirkan satu, dua bahkan tiga kebohongan lainnya. Tidak kah kebohongan itu akan terusik dan keluar kepermukaan? Bukan kah kamu adalah wanita yang pintar? Membiarkan sebuah penghianatan pergi darimu. Tidak kah penghinatan itu kelak bisa berbalik ke arah si penghianat itu sendiri?”
***

Sekali lagi air matanya jatuh. Wajahnya tertunduk, kepalanya bersandar di bahu saya. Isak tangis itu terus berlanjut untuk beberapa saat.

          “Kenapa harus berbohong? Apa salah aku sebenarnya?” suaranya terdengar sangat berat. Terpancar jelas dalam raut wajah mungil itu ada sakit yang tidak tertahankan, ada luka yang basah, ada rasa kesal yang teramat dalam.

          “Cinta bukan sebuah kejahatan” ungkapan itu yang selama ini saya percayai dan sampai detik ini tetap begitu. Namun mengapa begitu banyak problematika cinta yang datang? Bukan kah cinta bukan sebuah kejahatan, namun mengapa cinta sering kali membuat pertikaian? Mengapa cinta menggoreskan luka? Mengapa cinta mampu melahirkan kebencian? Mengapa.....

          Saya menepuk-nepuk satu sisi bahu dirinya, berharap beban yang ada di sana bisa sejenak sirna. Semua mata memanang kearahnya, namun tangisnya tak kunjung usai. Saya mendekap tubuhnya berharap dia tahu, ada tempat yang dapat dia tuju saat lelah menghapiri, kala luka tak mampu terbentung lagi.
***


-28 April-
Hari ini hujan turun lagi, mengguyur seluruh sudut kota. Dengan sebuah payung ditangan saya melangkahkan kaki menyusuri jalanan yang dipenuhi genangan air. Air hujan menyentuh tanah bergantian membuat nada-nada yang sulit tuk ditafsirkan. Membentuk bulatan-bulanan dalam genangan. Jalan raya terlihat tidak sepadat hari-hari biasanya, entah itu karena hujan yang turun hari ini atau karena hal lain.

          Hari mulai gelap, namun tidak mengurungkan niat beberapa pasang insan untuk tetap memadu kasih. Mata saya terpaku pada seorang wanita dan pria di bawah pohon itu, sang pria memberikan jaketnya untuk mereka gunakan bersama menghindari tetes demi tetes hujan. Sejenak saya terpaku,  betapa hebatnya cinta mampu membuat sepasang anak manusia rela berdiri di bawah pohon, saling memandang dengan penuh cinta, tidak menghiraukan tetes hujan yang jatuh.

Angin bertiup kencang membuat beberapa diantara mereka berteriak bersamaan. Saya hanya mampu tersenyum. Pakean yang saya kenakan mulai berubah warna menjadi lebih gelap dan terasa sedikit berat dari sebelumnya.

          “Aaaahhh... “ akhirnya saya tiba juga. Kini saya ada di rumah. Ternyata, jendela kamar masih terbuka. Dengan pakean agak basah, segera saya menutup jendela, menyalakan lampu, berganti pakaian lalu memakai jaket.

          Di luar sana terlihat beberapa anak kecil berlari kegirangan tanpa menghiraukan pakean mereka yang menjadi basah. Kaki-kaki itu melangkah di atas genangan air. Tersenyum lepas tanpa beban.

Setelah beberapa saat, diselingi dengan meminum teh hangat, saya merasakan tubuh kembali merasakan kehangatan di tengah tiupan angin yang dingin dan hujan yang deras

Saya pun lalu tertidur pulas. Mengarungi mimpi hingga puas.
Esok paginya saya terbangun oleh dering telepon. “Halo...” suara itu tidak asing. Saya mengenalnya, jelas mengenalnya.
***

          “Aku tidak berbohong Ay, Sungguh !” tapi mengapa rasanya aneh, otak ingin percaya namun hati berkata tidak.

          “Aku tidak bilang kamu berbohong, aku hanya bertanya.”

          “Tapi kamu seakan menyudutkan aku saat ini”

          Saya menarik nafas sedalam mungkin, berharap tidak terpancing untuk larut dalam emosi.

          Siang tadi saat berjalan di sebuah pusat perbelanjaan, saya melihat sesosok pria berjalan bersama seorang wanita disampingnya. Bukan pemandangan yang baru memang, tapi ketika melihat sosoknya saya hanya mampu membeku di tempat.

          Pria itu perlahan berjalan menghampiri saya, dengan senyum yang sulit di tafsirkan dia menyapa sejenak lalu melangkah pergi dengan wanita yang sejak tadi berdiri di balik punggungnya sembari merunduk dengan wajah murung.

          Dan saya masih berdiri mematung di tempat yang sama. “Dia..?? bagaimana bisa ??” pria tadi orang yang sangat saya kenal, saya yakin itu dengan seyakin yakinnya.”

          Menyaksikan “Penghianatan” tepat di depan mata saya kembali membuat saya bertanya-tanya, bukankah “Cinta bukan sebuah kejahatan?” tapi mengapa mereka yang tulus dan memberi segenap hati harus tersakiti ?
***

          Hari ini hujan turun lagi, dan saya baru saja sampai di rumah dengan pakaian yang basah kuyup. Saya pun lalu tertidur pulas. Mengarungi mimpi hingga puas.

Esok paginya saya terbangun oleh dering telepon. “Halo...” suara itu tidak asing. Saya mengenalnya, jelas mengenalnya.

          “Ay, hari ini perginya di tunda saja yah..”
          “Loh, kenapa ?”
          “Hari ini Ari tidak bisa...”
          “Bukannya hari ini tidak ada jadwal kuliah ?”
          “Iya, tapi tadi katanya dia tiba-tiba ada rusan penting”
          “Urusan ?”
          “Maaf yaa...” Telpon diakhiri.

          Apa mau dikata saat rencana hanya tinggal wacana. Rencana yang telah tersusun rapi hari ini harus terelakan karena alasan yang masih tidak di mengerti oleh otak saya.

          Mengisi kesosongan di hari libur akibat batalnya segala rencana, saya melangkahkan kaki seorang diri ke dalam sebuat pusat perbelanjaan. Mengikuti kemana arah kaki ini ingin melangkah, menikmati kesendirian di tengah keramaian.

          Sejenak keheningan menyapa, rasa dingin yang menjalar jadi ujung kaki ke seluruh tubuh membuat diri ini mematung. Sesosok pria yang sungguh tidak asing sedang berdiri beberapa meter di hadapan saya. Namun ada yang aneh, ia tidak sendirian, ada yang berdiri tepat di sampingnya. Wanita itu berbalik kearah saya dan ikut membeku.

          Pria itu berjalan ke arah saya dan di ikuti oleh wanita tadi di balik punggungnya. Sejenak menyapa lalu menghilang entah kemana. Saya masih mematung tidak mengerti apa yang harus di lakukan.

          Setelah mampu menguasai diri sendiri, saya menarik Hand phone keluar dari tas.
          “Halo ?”
          “Kamu di mana ?”
          “Di rumah. Kenapa Ay?”
          “Kalau Ari ?”
          “Tadi katanya masih di rumah temannya. Kerja tugas kuliah katanya.”
          “Yakin ?”
          “Maksudnya?”
          -Sejenak hening-
          “Ay? Ada apa? Ay??”

          Bagaimana cara untuk memulainya? Haruskah mengungkapkan kebenaran saat itu menorehkan kesedihan, atau haruskah berbohong dalam kebodohan?
***

          “Hari itu aku bertemu dengan Ari..” dengan hati-hati bibir ini berucap “Ia bersama dengan seorang wanita...” saya melanjutkan.

          Wajahnya tertunduk, murung, menahan tagis.

          “Ini yang terakhir kali, sekali lagi dia mengulanginya aku yang akan mengakhiri hubungan ini !” ucapnya kala itu.

          Hari-hari dia lewatkan dengan menahan rasa amarah, curiga sering kali menyapa, namun cinta tak mampu di pungkiri. Berulang kali Ari melakukan penghianatan dengan wanita berbeda namun dia tetap bertahan dengan rasa yang membuatnya seakan ingin lari dari kenyataan.

          Tersenyum terus ia coba lakukan, namun tangis tetap tak ingin bersembunyi. Menutup mata pada kenyataan, mencoba memahami keadaan, menerima kekurangan, melahap segala kepahitan, dan tertawa di balik tangis.

          “Apakah Cinta itu Buta?” ungkapan yang kini menjadi pertanyaan, namun sungguh ambigu. “Cinta bukanlah sebuah kejahatan” namun mengapa begitu banyak air mata yang terbuang karenanya?

Jendela memberi ruang pada udara untuk masuk ke dalam rumah, membuat penghuni di dalamnya mampu bernafas dengan nyaman.

          Jendela memberi kesempatan sinar mentari masuk ke dalam rumah memberi kehangatan di pagi hari.

          Jendela memberi kesempatan untuk menatap dunia luar, menyaksikan dan mengamati meski yang terlihat tidak selamanya benar-benar terjadi. Jendela memberi kesempatan untuk mendengar suara di luar sana, meski yang terdengar tidak selamnya sebuah kebenaran.
***


-12 Juni-
          “Semalam dia menelponku”
          “Apa katanya ?”
“Dia menyayangiku...” –sejenak hening- “Katanya aku adalah wanita yang baik, aku wanita yang mampu membuatnya tersenyum, dan dia memilihku bukan karena orang lain, tapi...”
“Tapi...?” dia mencoba menahan tangis, saya merasakannya, dia terluka
“Tapi... dia meminta maaf. Dia tidak bisa berjalan beriringan bersama denganku lagi.”
Tangisnya pecah, kepedihannya tidak terbendung lagi, usahanya sia-sia, dan kecurigaannya benar.

          Dea adalah sahabat saya, 5 bulan yang lalu dia memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan seorang pria. Dea tampak begitu bahagia, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Namun pandangan indah itu perlahan menghilang dan digantikan oleh cemas.

          “Ada yang aneh !” kalimat itu terus saja berulang dari bibir kecilnya, ia mulai menangis dan terus menangis.

Malam itu kembali lagi dengan tangis Dea menelpon saya, di ujung telpon
tangisnya tak berujung. Satu persatu kebohongan dari kekasihnya terkuak di permukaan. Dan ke-esokan harinya, Dea kembali menangis, dia menagis dalam pelukan saya semua mata memandang namun tak satu pun kami hiraukan.

Sekali lagi air matanya jatuh. Wajahnya tertunduk, kepalanya bersandar di bahu saya. Isak tangis itu terus berlanjut untuk beberapa saat.

          “Kenapa harus berbohong? Apa salah aku sebenarnya?” suaranya terdengar sangat berat. Terpancar jelas dalam raut wajah mungil itu ada sakit yang tidak tertahankan, ada luka yang basah, ada rasa kesal yang teramat dalam.

          “Cinta bukan sebuah kejahatan” ungkapan itu yang selama ini saya percayai dan sampai detik ini tetap begitu. Namun mengapa begitu banyak problematika cinta yang datang? Bukan kah cinta bukan sebuah kejahatan, namun mengapa cinta sering kali membuat pertikaian? Mengapa cinta menggoreskan luka? Mengapa cinta mampu melahirkan kebencian? Mengapa.....

          Saya menepuk-nepuk satu sisi bahu dirinya, berharap beban yang ada di sana bisa sejenak sirna. Semua mata memanang kearahnya, namun tangisnya tak kunjung usai. Saya mendekap tubuhnya berharap dia tahu, ada tempat yang dapat dia tuju saat lelah menghapiri, kala luka tak mampu terbentung lagi.
***

Tidak kah kebohongan itu membuat kamu lelah? bukankah satu kebohongan mampu melahirkan kebohongan lainnya? Lalu mengapa kamu masih bertahan dengan kebohongan itu?
          Ada sebuah jendela di sudut ruangan itu, langkahkan kaki kamu dan mendekatlah kepadanya. Pandangi ia sejenak, lalu bukalah. Lihat lah! Ada sebuah dunia diluar sana, indah bukan? Pandangi segala hal yang mampu terjangkau oleh kedua bola mata kamu. Ada beribu kehidupan, ada berjuta kisah dan akan selalu ada satu alasan untuk bahagia.

-END-

Amriani Sakra

:)

Sajak sang Kawan

          Hujan turun mengguyur kota kecil itu. Suara teriakan anak kecil yang berlarian dari arah sungai terdengar merdu bersama suara air hujan yang terjatuh ditanah. Kaki-kaki kecil itu terus beralari dan berlari dengan sesekali melompat sambil berteriak kegirangan. Senyum indah mengembang di wajah mereka, sesekali tertawa, sesekali berteduh di bawah pohon, sesekali berteriak lepas. Benar-benar masa kanak-kanak yang akan dirindukan.

          “Nina... tutup pintunya nak, hujannya semakin deras”

          “iya bu...”

          “anak-anak itu lucu yah bu”

          “lucu kenapa ?” ibu meletakkan secangkir susu hangat di depan ayah

“mereka semua bermain-main dibawah hujan sambil tertawa, padahal baju mereka sudah basah dan penuh lumpur. Tapi mereka tetap terlihat senang tak punya beban apapun.”

“anak-anak memenag seperti itu, apapun dianggap lucu dan menyenangkan. Kalau sudah bermain pasti lupa waktu” Ayah meneguk susu hangatnya sekali lagi.

          “dulu Nina juga seperti itu, kalau sudah main pasti lupa waktu”

          “apa semua anak kecil seperti itu bu ?”

          Ibu hanya tersenyum lalu menatap ayah yang juga tersenyum.

          Hujan semakin deras, kutarik selimut unguku dan mulai merebahkan tubuh menuju indahnya alam mimpi yang semoga menghampiriku malam ini.
***

          Pukul 05.00 subuh aku telah terbangun dan bergegas mengambil air wudu untuk menghadap pada-Nya. Bersama ayah dan ibu, aku khusuk menjalankan tugas wajibku sebagai seorang muslim.

          Pagi menjelang, sepeda usang yang tiada letih mengantarku untuk menuntut ilmu dengan sabarnya melewati tanjakan berbatu dan penuh lubang. Bersamanya sang sepeda usang ku lewati jalan setapak berharap hari ini akan ku raih berjuta ilmu.

          Seperti biasanya, aku bertemu dengan Airin di persimpangan jalan. Bersama-sama kami berangkat menuju sekolah yang kini berjarak satu kilometer. Sapaan hangat tak pernah terlewatkan. Kawan seperjuangan yang selalu menapaki langkah demi langkah bersamaku. Namun hari ini mungkin hari yang tak cukup baik untuk Airin. Dimulai dari ban sepeda Airin yang tertusuk paku hingga kami terlambat datang kesekolah, bekal makan siangnya yang tertinggal dirumah sampai mendapat omelan dari guru. Tapi bukan hanya Airin yang mengalaminya, tapi juga aku.

          Kami berteman sejak empat tahun lalu ketika sama-sama masuk di bangku SMP yang sama dan juga sekelas. Awal kedekatan kami berdua tidak cukup baik. Mungkin karena sifat kami yang sama-sama pendiam dan sulit beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Tapi, itulah yang kemudian menumbuhkan chemistry diantara kami berdua.
***

          Senin, 12 juli 2005

          Aku mulai risih dengan tatapan gadis yang menggunakan kalung dari kertas karton dan diberi sebuah tali untuk rantainya bertuliskan “bebek”. Sepertinya sejak tadi menatapku dengan sinis. Ia duduk seorang diri, mungkin cukup sulit baginya mencari teman sama halnya denganku. Kesan pertama bertemu dengannya ia SINIS, ia MENYEBALKAN dan ia sangat-sangat tidak SOPAN.

          Pengumunan penempatan kelompok guguspun dimulai, terdengar namaku disebut oleh seorang kakak kelas dan dilanjutkan dengan nama-nama lain yang juga segugus denganku. Tak sengaja telingaku mendengar sebuah nama disebutkan  “Airin Saputri, digugus 4” seorang anak perempuan berjalan menuju ke arah anggota gugus 4 berkumpul. “oh, jadi namanya Airin” gumamku.

          “bagaimana hari pertamanya mosnya nak ?” ibu bertanya penasaran.

          “menyenagkan bu” balasku

          “sudah mendapatkan teman ?” ku goyangkan kepalaku kekanan dan kekiri sebagai isarat.

          “nanti juga punya, Nina harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru”

          “iya bu”

          Hari ini cukup memelahkan, setelah berganti pakaian dan makan siang aku bergegas mengumpulakan enegiku yang telah terkuras habis hari ini. Sebelumnya aku telah berpesan pada ibu bahwa hari ini aku tidak ingin di ganggu dan ingin tidur. Untungnya ibu sangat mengerti.

          Setelah puas memejamkan mata selama empat jam aku bergegas mengambil air wudu untuk shalat azhar yang belum sempat kulakukan sepulang sekolah tadi akibat kelelahan.

          Tiga hari MOS telah terlewatkan. Benar-benar menjadi hari yang panjang sebelum memulai masa-masa SMPku. Suasana ruang kelas SMP benar-benar berbeda dengan masa SD dulu, ini sangat menyenangkan. Satu persatu teman sekelasku berdatangan dan mengambil kursi sesuai keinginan mereka semua. Aku berjalan menuju sebuah meja di barisan kedua di dekat tembok ruang kelas. Tapi aku lihat ada sebuah tas berwarna pink disana “ah padahal ini tempat yang paling kuinginkan”. Akhirnya kuputuskan untuk duduk dibangku ketiga meskipun dengan rasa sedikit kecewa.

          Suasana kelas semakin ramai, semua penghuni kelas telah lengkap. Dihadapanku duduk seorang wanita dengan rambut hitam sebahu yang sedari tadi tidak bersuara sedikitpun, tingkahnya sedikit aneh fikirku. Ternyata ia gadis menyebalkan yang menatapku sinis hari itu dan kini ia duduk di tempat yang sangat kuinginkan. Penilaianku padanya semakin tidak baik setelah hampir seminggu hidup sekelas dengannya.

          Satu bulan dua bulan pun berlalu, masa SMP yang menyenangkan kusambut dengan suka cita. Keakraban antara kami sesama penghuni kelas semakin terasa. Hari ini pak Risal memberi tugas kelompok membuat sebuah peta dari kertas bekas dan harus dikumpulkan empat hari kemudian.

          Sepulang sekolah setelah berganti pakaian dan berpamitan dengan ayah dan ibu. Kukayuh sepeda usangku dengan penuh semangat. Setelah hampir dua puluh menit menyusuru jalanan berbatu akhirnya kusampai disebuah rumah berwarna biru muda dengan pagar berwarna biru putih. Rumah itu tampak sepi tidak berpenghuni. Sepeda usang yang setia mengantarkanku kemana saja aku ajak memasuki pekarangan rumah yang tidak begitu luas itu.

          “Assalamualaikum....” ku ketuk pintu kayu dihadapanku. Terdengar sebuah langkah mendekati pintu.

          “waalaikumsalam...” seorang gadis sebaya denganku dengan rambut sebahu yang terurai berdiri dihadapanku. Kami berdua duduk di teras rumah itu menunggu teman yang tidak kunjung datang. 30 menit, satu jam, bahkan hampir dua jam kami menunggu dalam keheningan namun tidak ada yang dating satupun.

          “kenapa mereka belum datang ?” aku mencoba mencairkan suasana yang sedari tadi sangat beku.

          “mungkin hari tak jadi” jawabnya singkat

          “tapi...”

          “kalau kamu mau pulang silahkan saja. Biar aku yang menyelesaikannya”

          “tidak ! tidak bisa begitu, ini tugas kita semua. Bukan hanya tugas kamu. Aku akan tinggal mengerjakannya sampai selesai meskipun mereka tak datang” aku semakin jengkel padanya, ia hanya diam dan terus diam.

          Tugas membuat peta itu pun kami selesaikan setengahnya berdua dalam diam. Tidak ada suara yang berasal dari mulutnya ataupun aku. Hanya suara kicau burung dan dedaunan yang tertiup angin. Sampai akhirnya kami sama-sama menemui kesulitan untuk mencocokkan warna yang sesuai untuk peta dihadapan kami. Untuk mempermudah memilih warna kugoyangkan tubuhku mendekat kearah tumpukan spidol warna yang terletak tak jauh dari gadis menyebalkan itu. Aku semakin bingung, tak jarang ku menggaruk kepal.

          “mungkin warna ini lebih cocok” dua buah sidol berwarna coklat tua dan muda ia berikan padaku.

          “oh iya, sepertinya warna ini cocok”

          “biar aku saja yang memberi warna dibagian luarnya”

          “kalau begitu aku yang dibagian dalamnya”

          Dengan lincah tangan kami mewarnai bagian demi bagian peta dunia yang terbendang di hadapan kami berdua. Tidak butuh waktu lama, dalam dua jam peta itu telah terselesaikan oleh dua pasang tangan gadis cantik.
          “aaahhh akhirnya....”

          “ini tidak buruk”

          “iya, besok siap untuk dipresentasikan”

          “tapi, kenapa mereka tak datang ?”

          “mungkin ada hal penting yang mendesak”

          “aku sedikit khawatir. Tapi, ah sudahlah.. yang jelas peta ini telah selesai” sejenak aku memerhatikan rumah ini, mengapa tampak sangat sepi ? seperti tak berpenghuni padahal sudah sore.

          “kamu sendirian ?” lanjutku

          “emm” menganggukkan kepalanya

          “orang tuamu kemana ?”

          “kenapa kamu sangat ingin tau ?”

          “ahh akuu...” waah orang ini benar-benar menyebalkan fikirku.

          Hari semakin sore langit pun akan segera berubah warna menjadi orange keemasan, butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk tiba dirumah. Setelah berpamitan dan membereskan hasil kerja kami berdua aku segera mengayuh si Ungu yang usang.

          Pagi menyapa kembali, tiba waktunya untuk mempresentasikan hasil kerja kami dihari kemarin. Ana salah seorang anggota kelompok kami membukanya dengan sangat baik. Aku dan Airin sebagai pembicara utama. Kami berdua benar-benar tim yang sangat hebat dalam bidang ini. Kemampuan bicara Airin memang tak terkalahkan, ia benar-benar hebat untuk hal satu ini. Dengan fasih kami menyelesaikan tugas itu dan hasilnya benar-benar memuaskan tepuk tangan dari seluruh penghuni kelas membuat aku bangga pada diriku sendiri dan juga pastinya pada Airin tanpanya hasil seindah ini tak mungkin kami raih.

          “kerjamu bagus !” ini pertama kalinya aku melihat senyum indah itu darinya. Wajahnya benar-benar cantik saat sedang tersenyum.

          “Nina, Airin, maaf kemarin kami tak datang... kemari tiba-tiba saja Rian mendapat musibah. Rian jatuh dari sepeda saat akan kerumah Airin, jadi kami semua mengantar Rian pulang . maaf....” Ana menjelaskan alasan mengapa mereka tidak datang kerumah Airin kemarin dengan nada dan ekspresi bersalah.

          “sudahlah, lagi pula kita berhasil menyelesaikan tugas ini dengan baik.”

          “apa Rian baik-baik saja ?” Airin kembali bercicara

          “hmm.. iya untungnya luka Rian tak parah”

          “syukurlah”

          Aku termenung mendengar kata-kata Airin, aku pikir dia orang yang sangat beku dan tidak bisa mengkhawatirkan orang lain, tapi ternyata aku salah... Airin bukan orang yang sebeku itu. Dia hanya tidak tau bagaimana cara menunjukkan isi hatinya.

          Sejak hari itu, aku lebih sering mendengar suara dan melihat senyuman indah gadis itu, bahkan kami sering melewati hari bersama.
***

          Setelah lulus SMP kami memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di SMA yang sama. Setiap hari dengan dua sepeda usang kami mengayuh dengan penuh semangat berharap hari ini penuh dengan kecerian.

          Tak sedikit orang yang bertanya mengapa kami bisa berteman akrab dengan sikap Airin yang bagi sebagian orang sangat menyebalkan dan sikapku yang selalu tak mau mengalah. Meski sebagian orang terkadang lelah melihat dan mendengarkan kami ketika sedang tak sejalan. Tapi itulah sebuah pertemanan, tidak ada pertemanan  yang dimulai dengan keakraban yang sangat akrab. Namun akan dimulai dengan kisah-kisah lucu tak terbayangkan yang kelak akan kita tertawakan bersama betapa konyolnya sebuah pertemuan pertama yang menyimpan kesan berjuta makna.

          Tidak ada satu manusiapun yang sempurna. Selalu ada cela disetiap langkahnya. Namun celah itu akan senantiasa berjalan beriringan bersama sebuah keistimewaan yang terkadang orang-orang tidak mampu melihatnya dengan mata bahkan diri kita sendiripun terkadang tidak menyadarinya. Butuh sebuah pengorbanan dan usaha untuk menemukan keistimewaan itu. Seperti itulah aku dan Airin, dibalik kekurangan kami  berdua ada sebuah keitimewaan yang berjalan berdampingan dengan kekurangan itu. Hanya saja orang-orang tidak mampu melihat keitimewaan itu. Namun aku... aku melihat keistimewaan itu dalam diri Airin. Keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Begitu pula sebaliknya, hanya Airin yang mampu benar-benar melihat sisi lain dari seorang NINA. Ya, hanya Arin...

          Entah sampai kapan kaki ini akan terus berjalan beriringan dengannya, entah sampai kapan kami akan berjalan dijalur yang sama, entah kapan takdir akan menunjukkan jalan berbeda yang harus kami daki seorang diri, entah sampai kapan... kisah ini akan kami rajut. Kisah ini bukanlah sebuah kisah istimewa tentang arti sebuah persahabatan yang rela berkorban untuk seorang sahabat yang disayanginya. Namun seperti apa realita hidup untuk mencari sesosok teman yang kan ku sebut “SAHABAT” meski aku tidak tau, meski aku tidak yakin.. ia kah orangnya ? inikah sebuah persahabatan yang selalu dijunjung tinggi oleh beberapa orang ? inikah kisah luar biasa tentang arti seorang sahabat ? kurasa bukan... ini hanya kisah sederhana bagaiman rasa nyaman itu hadir setelah perdebatan panjang. Inilah sebuah proses untuk saling mengenal dan melihat diri orang lain. Inilah saat ketika aku harus melihat sosok lain dalam diri seseorang untuk dapat mengenalnya. Bukan sekedar mengenal tapi benar-benar mengenalnya...

          Ia Arin, kawanku... bukan karna semua persamaan yang menyatukan kami tapi sebuah kisah lucu tentang sebuah ketidaknyamanan hingga aku dapatkan sebuah kenyamanan bersandar dan tinggal didirinya. Kisah yang akan selalu kami rindukan, kisah penghibur lara saat gunda menyapa, kisah yang tak dimiliki orang lain. Akankah kisah ini seperti sepeda usang yang selalu mengantar dan menjadi saksi kisah ini ? yang bertahan hingga akhir, yang meski telah usang namun tetap penuh makna.. meski telah usang namun semangatnya tak pernah pudar. Semoga saja.....

          Ini bukan kisah hebat tapi inilah realita pencarian seorang kawan yang dimulai dari titik terendah dan semoga akan selamanya berjalan bersama untuk nmencapai titik tertinggi. J

-Selesai-